A. Tafsir bi Al-Ma’sur
Tafsir bi ma’sur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih menurut urutanyang telah disebutkan dimuka dalam syarat-syarat mufasir. Yaitu menafsirkan Al-qur’an dengan Al-Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui KItabullah, atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat .
Periodesasi perkembangan tafsir bi ma’sur ini ada dua periode atau tahap:
Pertama, periode lisan, periode ini lazim disebut periode periwayatan. Pada periode ini, para sahabat menukil dan mengembil penafsiran dari Rasulullah SAW atau oeh sahabat dari sahabat, atau oleh tabi’in dari sahabat, dengan cara penukilan yang daapt dipercaya, teliti, dan memperhatikan jalur periwayatan. Cara semacam ini berlangsung sampai periode berikutnya dimulai.
Kedua, periode Tadwin (kodifikasi-penulisan). Pada periode ini, tafsif bi ma’sur, yang proses penukilannya pada periode pertama, dicatat dan dikodifikasikan. Pada mulanya kodifikasi tersebut dimuat dalam kitab-kitab hadits. Setelah tafsir menjadi disiplin ilmu yang otonom, maka ditulis dan terbitlah karya-karya tafsir yang secara khusus memuat tafsir bi al-ma’sur, lengkap dengan jalur sanad sampai Nabi SAW, kepada para sahabat, tabi’in, dan tabi’I al- tabi’in.
Dengan demikian maka tafsir bi ma’sur adaalh tafsir Al-qur’an dengan Al-qur’an, penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah, atau penafsiran Al-Qur’an menurut atsar yang timbul dari kalangan sahabat.
a. Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh:
1. Penafsiran Al-Qur’an dari firman Allah:
أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ
“dihalalkan bagimu binantang ternak…….” (AL-Maidah : 1)
Dijelaskan oleh firman Allah
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan sebagainya”. (Q.S Al-Maidah: 3)
2. Firman Allah:
وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ
“demi langit dan yang datang pada malam hari” (QS. At-Tariq: 1)
Kata At-Tariq dijelaskan dengan firman-Nya lebih lanjut pada surat itu pula:
النَّجْمُ الثَّاقِبُ
“(yaitu) binatang yang cahayanya menembus” (QS. At-Tariq: 3)
3. Firman Allah:
فَتَلَقَّى آَدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Baqarah: 37)
Kalimat ynag diterima Adam ditafsirkna dengan ayat:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“keduanya berkata (Adam dan Hawa), “wahai Tuhan kami, kemi telah menganiaya diri kami, andai kata Kamu tidak memaafkan dan mengasihi kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S Al-A’raf: 23)
4. Contoh lain tentang penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an adalah firman Allah;
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannnya (Al-Qur’an)pada malam yang penuh barakah”(Q.S. Ad-Dukhan: 3)
Penafsiran ialah Mubarakah adalah lailatul qadar.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesunguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan.” (Q.S. Al-Qadar: 1)
b. Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah
1. Rasulullah SAW. Menjelaskan “zalim dengan syirik dalam firman Allah;
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An’am: 82)
Rasulullah saw menafsiran kata بِظُلْمٍ dalam ayat tersebut dengan الشِّرْكَ . penafsiran ini selaras dengan penegasan Allah dalam surat Luqman, yang berbunyi:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“ Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.”
(Q.S. Luqman: 13)
2. Rasul SAW, menafsirkan حِسَابًا يَسِيرًا dengan العرصmenampilkan perbuatan/ ember contoh kepada orang mukmin dan mengingatkan saja. Hal ini diperoleh dari kata-kata beliau:
من نو قس ا لحسا ب عذ ب
“Barang siapa yang menyalahi perhitungan, niscaya akan disiksa.”
Aisyah berkata kepada Nabi, “ Ya Rasulullah, bukankah berkenaan dengan hal itu, Allah telah berfirman:
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِه فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا
“Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan ia akan kemali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.” (QS. Al-In-Syiqaq: 7-9)
Nabi menjawab (حِسَابًا يَسِيرًا ) disitu adalah ( من نوقس احساب عذب), sedangkan orang yang menyalahi hisab, niscaya akan disiksa.
2. Rasulullah menasirkan salat wusta dalam berfirman Allah:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى
“Peliharalah segala salat (periharalah) salat wusta.” ( Q.S. Al-baqarah: 238)
Dengan salat asar.
3. Contoh lain tafsir Nabi SAW. Tentang tambahan dalam firman Allah SWT.
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (Q.S. Yunus: 26)
Beliau menafsirkan dengan memandang kepada Zat Allah Yang Mulia.
4. Tafsir firman Allah
5. يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (Q.S. Al-Zazalah: 4)
Beliau bebrsabda, “apakah kalian mengetahui kejadiannya? “mereka (para sahabat) menjawab”, Allah dan Rasul-Nya yang lebiuh mengetahuinya’. Rasul menjawab, “kalian akan menyaksikan setiap hamba atau umat harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang telah dikerjakan, kalian akan mengatakan aku mengerjakan pada hari anu dan anu…”
c. Tafsir Sahabat
Tafsir sahabt ini juga termasuk yang muktamad (dapatdijadikan pegangan) dan dapat diterima, karena para sahabat pernah berkumpul dengan Nabi SAW. Dan mereka mengambil dari sumbernya yang asli dan telah menyaksiakn turunnya wahyu dan turunnya Al-Quran, serta mengetahui asbabaun nuzul. Mereka memiliki tabiat jiwa yang murni, fitrah yang lurus dan berkedudukan tinggi dalam hal kefasikan dan kejelasan berbicara. Mereka memiliki kemampuan dalam memahami kalam Allah. Dan hal ini yang ada pada tentang rahasia-rahasi Al-Qur’an sudah tentu akan melebihi orang lain.
Untuk melihat contoh penggunaan “aqwaliush shahabah’ dalam menafisrkan Al-Qur’an, dapat diamati tafsir Ibn Jarir Ath-Thabary, disana tidak saja banyak dinukilkan dari para sahabat tapi juga dari para tabi’in.
d. Tafsir Tabi’in
Adapun tentang kedudukan tafisr tabi’in, ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa tafsir tabi’in itu ttermasuk tafsir ma’sur karena sebagian besar pengemabilannya secara umum dari sahabat., dan menurut ulama yang lainnya berpendapat bahwa tafsir tabi’in termasuk tafsir ra’yi atau akal., dengan penegrtian bahwa kedudukannya sama dengan kedudukan mufassir lainnya (selain Nabi dan sahabat). Mereka menafsirkan Al-qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab tidak berdasarkan pertimbangan dari atsar (hadits0. Oleh sebab itu, otoritas mereka sebagai sumber penafsiran Al-qur’an bil ma’sur masih diperdebatkan. Ibnu Syibah dan Ibnu Aqli adalah ulama yang menolak otoritas mereka.
Berkenaan dengan otoritas itu pula, Abu Hanifah berkata pula.
“Apa yang datang dari Rasulullah harus diterima, dan apa yang adatang dari tabi’in, kita menyikapinya mereka adalah laki-laki dan kamipun laki-laki”.k bin mujahin, Abi Al-Aliyyah Al-rayyah, hassan Basri, dan Ikrimah menerima otoritas mereka karena umumnya mendengar langsung dari sahabat.
Namun, mayoritas ulama, seprti Ad-Dahhak bin Al-Mujahin, Abi Al-Aliyyah Al-rayayah, Hasan Basri, dan Ikrimah menerima otoritas merekam karena umumnya mendengar langsung dari sahabat.
Adapun penafsiran Al-qur’an dengan maksur dan sahabat atau tabi’in ada masih mengendung beberapa kelemahan kerana berbagai segi:
1. Canpur baur antara yang sahih dan yang tidak sahih, serta banyak mengutip kata-kata yang dinisbatkakn kepada sahabat atau tabi’in tanpa memiliki sandaran dan ketentuan, sehingga menimbulkan pencampurpaduan antara yang hak dan yang batil.
B. Tafsir bil Ra’yi
Secara etimologi, ra’yi berarti keyakinan (I’tiqad), analogi (qiyas), dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi ra’yi (disebut tafsir ad dirayah) sebagai mana didefinisikan adz-Dzahabi- adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahuii bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab nuzul, dan nasikhdan mansukh kita tilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
Diantara penyebab yang memicu munculnya corak tafsir bi ra’yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disipilin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Kemunculan tafsir bi ra’yi dipicu pula oleh hasil interaksi umat Islam dengan peradaban Yunanai yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, dalam tafsir bi ra’yi ditemukan peranan akal yang sangat dominan.
Ta’fsir Al-Ra’yi terbagi dalam dua bagian
Pertama, tafsir Mahdum, aialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara, ajuh dari kajahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasab Arab serta berpegang pada usluib-uslubnya dalam memahami teks Al-Qur’an. Barang siapa yang menafsirkan Al-qur’an menurut ra’yunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut serta berpegang pada makna-makna Al-Qur’an maka pennafsirannya dapat diambil.
Kedua tafsir azmum ialah bila Al-Qur’an ditafsirklan tanpa ilmu atau menurut sekehendak hatinya tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syari’at, atau Kalam Allah itu ditafsirkan menurut pendapat yang salah dan sesat, atau mendalami kalam Allah hanya berdasarkan pengetahuannya semata-mata, diamana ia menyatakan bahwa Kalam Allah itu maksud nya ini dan itu, tafsir semacam ini adaallh tafsir yang salah.
Secara ringkas, tafsir mahmud adaalh tafsir yang pengarang ketentuan-ketentuan bahasa dan mendalami uslubnya serta mengetahui ketentuan-ketentuan syari’at. Sedangkan, tafsir mazmum ialah tafsir yang dilakukan menurut sekehendak hati pengeranganya yang berada dalam kejahilan dan kesesatan, misalnya tafsir yang dikemukakan oleh sebagian orang yang mengaku pandan tentang firman Allah SWT:
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ
“Ingatlah suatu hari (yang dihari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya”. (Q.S. Al-Isra’: 71)
Mereka berkata bahwa maksud firman Allah SWT, diatsa dalah ‘Allah Ta’ala memanggil manusia pada hari kiamat dengan nama ibunya karena menutupi mereka “, mereka menafsirkan kata imam dengan umahat (ibu) dengan pendapat bahwa imam adalah jamak dari umum padahal menurut ketentuan bahasa Arab tidak demikian, karena jamak umum adaalh umahaat sebagaimana dalam firman Allah SWT;
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
“Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu”. (Q.S. An-Nisa; 23)
Bentuk jamak dari ummum itu bukanlah kata imam. Karena itu, poengertian di atas menurut bahasa dan syara’ tidaklah benar. Yang dimaksud dengan imam disana adalah Nabi yang diikuti oleh umatnya atau catatan amal, dengan alasan firman Allah;
فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Barang siapa yang diberi kitab pada tangan kanannya, mereka bisa membaca kitabnya dan mereka tiada sesat”. (Q.S. AL-Isra: 71)
وَمَنْ كَانَ فِي هَذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلًا
“ Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar”. (Q.S. Al-Isra: 72)
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“….Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati dalam dada”. (Q.S. Al-Hajj; 46)
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Al-An’Am: 82
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Al-Lukman : 13
C. Tafsir Isyarah
Tafsir isyarah adaalh penafsiran Al-Qur’an yang berlainan menurut zahir ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat dan hanya diketahui oleh sebagian ulalma, atau hanya diketahui oleh orang-orang yang mengenal Allah. Dalam tafsir ini, para mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagaimana ynag tersurat daalm Al-Qur’an, tetapi penanfsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap insan, kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah, dan termasuk golongan orang yang salleh.
Tafsir isyari ini jika memasuki isyarat-isyarat yang samamr akan menjadi suatu kesesatn. Tetapi selama ia merupakan istinbat yang baik dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh zahitr bahasa Arab serta didukung oleh bukti kesahihannya, tanpa pertentangan, maka ia dapat diterima.
Contoh tafsir isyari yang salah
Dalam tafsiran hadits hadis, “bersahurlah kalian karena sahur itu mengandung barakah’. Mereka menafsirkan sahur dengan istigfar pada waktu sahur. Dan contoh lainnya seperti itu sehingga mereka memutarbalikkan Al-Qur’an dari awal samppai akhir dari bentuk lahirnya yaitu dari tafsir yang manqul, baik dari Ibnu Abbas maupun dari ulama-ulama lainnya. Penafsiran semacam ini jelas keliru.
Tafsir isyari dapat diterima bila memenuhi persyartan-persyaratan sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengann makna zahir ayat.
2. Maknanya itu sendiri sahih,
3. Pada lafal yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna isyari) tersebut,
4. Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat.
Tanpa syarat-syarat tersebut diatas, tafsir isyari tidaklah dapat diterima, yang berarti termasuk tafsir berdasarkan seenaknya (menurut hawa nafsu dan ra’yu) yang dilarang. Allah-lah yang memberikan taufik dan hidayah jalan yang benar.
mbak. klo bisa beri tombol buat download donk... biar gk usah copy paste..
BalasHapus